iklan jual beli mobil

Makam Joko Jumput, Wisata Klenik yang Menyimpan Kisah Romansa Pendirian Surabaya

sejarah joko jumput
Ilustrasi pertarungan Joko Jumput melawan Pangeran Situbondo di Surabaya. (Lukisan AI yang dinarasikan penulis)

Surabaya, Suarajatim.com - Nama Joko Jumput sulit ditemukan dalam literatur sejarah, maklum saja, makamnya baru diketemukan 40 tahun lalu. Saat itu, kawasan pertokoan Jalan Praban mengalami kebakaran hebat pada 1984. Tepat di seberang SMPN 3 itulah, lantas warga menemukan empat buah kuburan yang berjejer dalam satu bidang berukuran 2x3 meter.

Faried Faisa, putera dari Juru Kunci makam Joko Jumput mengatakan bahwa kini sudah banyak peziarah yang mendatangi punden tersebut.

"Khususnya malam Jumat, dulu malah yang sering dari luar kota. Sekarang, setelah viral di media dan diulas Youtuber, masyarakat Surabaya makin banyak yang ke sini," katanya saat ditemui Suarajatim, (20/2).

"Ada yang memang khusus ziarah, ada yang karena kunjungan sekolah. Alhamdulillah sekarang ini malah banyak kesenian Ludruk yang menampilkan lakon mbah Joko Jumput," lanjutnya.
makam joko jumput surabaya
Makam Joko Jumput, nyempil di antara dua bangunan toko. Di jalan Praban no.6 Surabaya.

Kembali pada penemuan kuburan, bagaimana warga bisa mengetahui itu adalah makam Joko Jumput pasca kebakaran terjadi?

Tidak ada prasasti ataupun tokoh sejarah yang bisa banyak bercerita soal itu, namun dari legenda yang diyakini di masyarakat (oral history), makam tersebut adalah milik Joko Jumput yang kisahnya erat berkaitan dengan berdirinya Kota Surabaya.

Oleh karena itu, tak heran bila cerita yang berkembang dari hikayat biasanya mempunyai beberapa versi. Termasuk kisah Joko Jumput ini.

Dirangkum dari beberapa sumber, Romansa Joko Jumput diawali dari tokoh bernama Cakraningrat, penguasa Sampang Madura, mengirim Pangeran Situbondo dan beberapa pengawalnya ke Surabaya. Mereka bermaksud melamar Purbawati, putri Adipati Jayengrana penguasa keraton Surabaya, agar dijadikan sebagai istri Pangeran Situbondo.
joko jumput pendiri surabaya

Lamaran tersebut diterima, meskipun Purbawati mengajukan tiga syarat yang berat. Pertama, Pangeran Situbondo harus menebang hutan Surabaya untuk dijadikan perkampungan. Kedua, ia harus membawa pulang seekor harimau dan anaknya. Ketiga, ia tidak boleh membawa senjata pusakanya.

Meskipun berat, Pangeran Situbondo menyanggupinya. Dia dan pengawalnya menebang hutan serta mengalami berbagai peristiwa yang tempatnya diberi nama-nama tertentu sebagai peringatan. Penamaan lokasi tersebut ialah: Embong Malang, Kedungdoro, Kedunganyar, Kedungrukem, Wonorejo, Tempel Sukorejo, Banyu Urip, dan Simogunung.

Sementara itu, putera penguasa dari Kadipaten Kediri, seorang pemuda bernama Jaka Truna, juga ingin meminang Purbawati. Meskipun ibunya tidak menyetujuinya, Jaka Truna nekat menemui Purbawati di Tamansari.

Setelah Jaka Truna mengutarakan isi hatinya kepada sang pujaan hati, ternyata Purbawati meminta Jaka Truna untuk menemui Pangeran Situbondo, karena dialah yang meminang dirinya terlebih dahulu.
hidden gem surabaya
Lorong makam yang dulunya gang beralas tanah. Dalam tulisan sejarah lain mengatakan bahwa sebelum ditemukan pasca kebakaran, tempat ini adalah kamar pembantu di bangunan toko.

Kisah berlanjut, terjadilah pertarungan antara Pangeran Situbondo dan Jaka Truna yang meminta bantuan Joko Jumput, dengan bersenjatakan Pecut Gembolo Geni, warisan ayahnya.

Dalam pertarungan antara Joko Jumput melawan Pangeran Situbondo, Pangeran Situbondo kalah dan melarikan diri ke arah timur, menjadi cikal bakal nama kota Situbondo.

Jaka Truna, yang mengetahui kekalahan Pangeran Situbondo, melaporkannya kepada Adipati Jayengrana. Namun, disusul Joko Jumput juga datang dan mengklaim bahwa dialah yang mengalahkan Pangeran Situbondo.

Bingung, Adipati Jayengrana memutuskan untuk menguji kesaktian kedua pemuda tersebut.
cambuk pecut gembolo geni
Pesarean Joko Jumput menurut Juru Kunci ada di urutan nomer 3 dari kiri, bersanding dengan makam sang istri Purbawati. Terlihat ornamen cambuk, senjata Joko Jumput yang dinamai Pecut Gembolo Geni warisan sang ayah, yang mampu menghancurkan jin dan roh jahat.

Dalam ujian itu, Jaka Truna kalah, dan akhirnya Joko Jumputlah yang berhasil mempersunting Purbawati. Setelah kematian Adipati Jayengrana, Joko Jumput menggantikannya sebagai Adipati di Surabaya.

Kesaksian Spiritual
Faried Faisa, anak dari Kusnandar, juru kunci Makam Joko Jumput yang sekarang (dahulu dipegang alm Ghofar). Mengisahkan pengalaman spiritualnya selama membantu sang ayah sebagai Juru Kunci.

Faried menceritakan versi lain kisah pertarungan itu.

"Ada beberapa hal yang berbeda, apa yang disampaikan ayah kepada saya, dengan apa yang saya pahami secara spiritual bersama mbah Joko Jumput," sanggahnya.
wisata religi surabaya
Foto peziarah. Sumber: istimewa

Menurut Faried, kisah pertarungan tersebut berakhir dengan kematian Pangeran Situbondo.

"Jaka Truna membawa kepala Pangeran Situbondo kepada Adipati Jayengrana sebagai bukti bahwa dialah yang telah mengalahkannya," tukasnya.

Hal ini membuat posisi Joko Jumput sulit mengklaim bahwa dia yang sesungguhnya mengalahkan Situbondo.

Lantas dalam adu kesaktian antara Jaka Truna dan Joko Jumput selama 7 hari 7 malam, datanglah tokoh penentu yang membuat keberuntungan Jaka Truna berbalik. Dialah sang ibunda Jaka Truna mencari-cari anaknya, yang sebelumnya tidak setuju Truna menyunting Purbawati.

Jaka Truna vs Joko Jumput
Ilustrasi ibunda Jaka Truna menemukan anaknya yang telah bertarung adu kesaktian selama 7 hari 7 malam melawan Joko Jumput. (Lukisan AI yang dinarasikan oleh penulis)

"Kalau kamu berkata benar, maka kamu bisa mengawini Purbawati, tapi bila kamu berbohong, maka kamu akan menjadi orang linglung (Jawa:deleg-deleg)," sabda sang ibu.

Dan ternyata benar, Jaka Truna sekelebat menjadi orang linglung dan menerima kekalahan, lantas kembali pulang ke Kediri.

Tentu, kisah-kisah ini berkelindan dengan banyak versi yang ada, misalnya:

Jaka Truna tidak kembali ke Kediri, tapi linglung selamanya, mematung dan menjadi patung sungguhan yang dinamakan Joko Dolog. Meskipun dalam versi sejarah, Joko Dolog bukanlah Jaka Truna, melainkan perwujudan Kertanegara, raja Singhasari terakhir.

Menurut penerawangan spiritual yang dialami Faried, dia mengatakan bahwa Joko Jumput dan mbok Rondo Praban Kinco, sebenarnya masih bangsawan yang terpaksa meninggalkan kerajaan Majapahit karena berselisih dengan Ratu Tribhuwana Tunggadewi.
 
Mbok Rondo Praban Kinco adalah kakak dari ayah Joko Jumput, yang posisi kuburannya berada paling kiri dari makam tersebut.
 
Mereka hidup di Surabaya menjadi ahli jamu atau tabib. Karena itulah, di dalam area punden juga terdapat ulekan batu yang berfungsi menggerus bahan-bahan pengobatan. Konon, keahliannya ini terkenal sampai ke luar negeri bahkan hingga ke China.

"Saya masih sering berkomunikasi dengan Mbah Joko Jumput. Kepada sang bibi, saya memanggilnya dengan sebutan mbok Ratu Jamu Praban Kinco. Saya juga sering bertanya kepada beliau, kalau ada orang yang meminta tolong kepada saya, mengenai jamu penyembuhan untuk orang sakit," akunya.

Dari banyak cerita legenda yang beredar, tidak disebutkan penokohan Adipati Jayengrana itu generasi ke berapa. Sebenarnya ini penting, karena Jayengrana atau Jangrana adalah sebutan atau pangkat pemimpin keraton (tapi bukan raja) sebagai penguasa Surabaya saat itu, di bawah kekuasaan Mataram.

"Justru Raja Mataram itu masih cucu Joko Jumput," tukas Faried.

Dalam versi lain, Joko Jumput disebut sebagai sepupu dari Jaka Bereg alias Sawunggaling, dia adalah Adipati Surabaya penerus era Jayengrana. Tentu ini mempunyai irisan sejarah, karena Sawunggaling hidup di era VOC, tahun 1600-1700an.

Kalau begitu artinya, Joko Jumput adalah keturunan dari kerajaan Mataram yang konon identitasnya disembunyikan. Atau memang di era penjajahan Belanda, kisah Joko Jumput disimpan erat bersama dengan makamnya.

Dari perbedaan kisah ini, tidak hanya terjadi pada Joko Jumput, tokoh-tokoh lain seperti Joko Dolog juga mempunyai perbedaan cerita, antara versi sejarah dan legenda.

Kini, makam Joko Jumput menjadi ikon yang tersembunyi, walaupun lokasinya terletak di tengah perkotaan Surabaya.

"Dulunya makam ini cuma gang sempit beralas tanah, Alhamdulillah sekarang dikeramik dan dicat. Setiap bulan ada alokasi untuk perawatan dari Pemkot, sehingga peziarah makin nyaman," tutup Faried mengakhiri wawancara dengan Suarajatim.(*)
LihatTutupKomentar