Jawa Timur Gerbang Baru Nusantara: Potensi Ekonomi, Tantangan Pembangunan, dan Visi Khofifah-Emil 2025-2030SUARAJATIM – Di bawah langit Surabaya yang pagi itu mulai terik, aroma kopi dan gemuruh diskusi memenuhi ruang RKTP Café. Suasana itu menjadi sakral ketika sejumlah pemangku kepentingan Jawa Timur berkumpul, mencoba mengurai benang kusut antara optimisme dan kecemasan.
![]() |
Diskusi FGD tentang Visi Jawa Timur Gerbang Baru Nusantara di Surabaya |
Visi besar "Jawa Timur Gerbang Baru Nusantara" yang digaungkan Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak untuk periode kedua 2025-2030, seperti pisau bermata dua: di satu sisi membawa janji kemajuan, di lain sisi menyimpan pertanyaan yang belum terjawab.
Sejak dilantik kembali pada awal 2025, Khofifah-Emil tak henti menegaskan posisi Jawa Timur sebagai poros ekonomi yang menghubungkan Indonesia barat dan timur. Sejarah panjang provinsi ini sebagai lumbung pangan dan basis industri seolah menemukan momentumnya ketika Ibu Kota Negara (IKN) dipindahkan ke Kalimantan Timur.
"Jawa Timur tak lagi sekadar jembatan, tapi gerbang yang menentukan arah arus barang, jasa, dan manusia," ucap Khofifah dalam pidato kenegaraan akhir Februari lalu.
Strategi Geopolitik di Balik Peta Nusantara
Letak geografis Jawa Timur, yang berada di persimpangan jalur laut nasional, memang memberikan keunggulan komparatif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim mencatat, 35% komoditas pertanian dan 28% produk manufaktur yang masuk ke Indonesia Timur pada 2024 berasal dari provinsi ini. Namun, Dr. Harliantara, M.Si, Pemimpin Redaksi Ayojatim.com dan Dekan Fikom Unitomo, mengingatkan bahwa kejelasan konsep "Nusantara" dalam visi ini masih perlu diperdebatkan."Apakah Jawa Timur ingin menjadi penyangga IKN, atau justru memposisikan diri sebagai pusat ekonomi alternatif di luar Kalimantan? Ini bukan sekadar soal infrastruktur, tapi juga redefinisi identitas," tegasnya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Jawa Timur Gerbang Baru Nusantara: Peluang & Tantangan?", Jumat (7/3/2025).
Pernyataan Harliantara menyentuh titik krusial: progres pembangunan IKN yang masih tersendat. Hingga kuartal pertama 2025, hanya 45% proyek infrastruktur dasar di IKN yang tuntas. Kondisi ini, menurut Baihaki Sirajt dari ARCI, bisa menjadi pisau bermata dua bagi Jawa Timur. "Jika IKN mandek, Jawa Timur harus siap mengambil peran lebih besar. Tapi jika IKN maju, provinsi ini harus mampu menjadi mitra seimbang, bukan sekadar pemasok," paparnya.
Kolaborasi atau Keterpisahan?
Di tengah debat konseptual, Jairi Irawan dari DPRD Jatim mengingatkan pentingnya sinkronisasi kebijakan. "RPJMD kabupaten/kota harus selaras dengan visi provinsi. Tanpa ini, Jawa Timur hanya akan menjadi kumpulan wilayah yang berjalan sendiri-sendiri," ujarnya. Data Pemprov Jatim menunjukkan, baru 60% daerah yang menyesuaikan dokumen perencanaan mereka dengan RPJMD 2025-2030.Tantangan lain datang dari sektor riil. Meski angka kemiskinan ekstrem Jatim turun ke 1,2% pada 2024 (terendah sepanjang sejarah), kesenjangan antara wilayah utara dan selatan masih tajam. Kabupaten seperti Trenggalek dan Pacitan masih bergulat dengan keterbatasan akses logistik. "Visi Gerbang Baru Nusantara harus mampu menjawab ketimpangan ini. Jangan sampai pembangunan hanya terpusat di Surabaya-Gresik," kritik H. Irwan Setiawan dari DPW PKS Jatim.
100 Hari Pertama: Ujian Nyata Khofifah-Emil
Baihaki Sirajt menekankan, 100 hari pertama kepemimpinan Khofifah-Emil periode kedua menjadi penentu kredibilitas visi ini. Sepuluh program prioritas, termasuk penguatan Pelabuhan Tanjung Perak dan pembangunan koridor logistik Jatim-Tenggara, harus menunjukkan progres nyata. "Masyarakat sudah lelah dengan jargon. Mereka butuh bukti, seperti perbaikan jalan nasional di jalur lintas selatan yang masih berlubang," tambahnya.Di sisi lain, optimisme tetap mengemuka. Pertumbuhan ekonomi Jatim yang konsisten di atas 5,8% sejak 2023 menjadi modal kuat. Kenaikan investasi sebesar 12% pada sektor maritim dan energi terbarukan juga menunjukkan kepercayaan investor. Emil Dardak, dalam wawancara eksklusif dengan Ayojatim.com, menyebut kolaborasi triple helix (pemerintah-swasta-akademisi) sebagai kunci. "Kami sedang menyusun masterplan ekonomi biru yang integratif, menghubungkan potensi laut, industri, dan digitalisasi," ungkapnya.
Menjaga Api Visi di Tengah Badai Realita
Ketika matahari mulai tenggelam di RKTP Café, diskusi masih berlanjut. Visi "Jawa Timur Gerbang Baru Nusantara" bagai pelita yang menerangi jalan, tapi juga rentan dipadamkan angin skeptisisme. Di pundak Khofifah-Emil kini terbentang tugas berat: mentransformasikan retorika menjadi aksi, mengubah peta konsep menjadi jalan aspal yang nyata. Sejarah akan mencatat, apakah periode kedua ini menjadi babak gemilang Jawa Timur, atau sekadar pengulangan kisah-kisah usang tentang janji yang tertunda.Satu hal yang pasti: di tangan 40 juta penduduknya, Jawa Timur sedang menulis babak baru. Bukan hanya sebagai gerbang, tapi mungkin juga sebagai jantung yang memompa kehidupan ekonomi Nusantara. (*)