SUARAJATIM (6/5) - Industri media nasional tengah dihadapkan pada tantangan eksistensial akibat disrupsi digital. Iskandar, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Surabaya, pada Selasa (6/5/2025), mengungkapkan kekhawatiran mendalam tentang dominasi platform digital asing seperti Google, Meta, dan TikTok yang menggerus pendapatan iklan media konvensional.
Menurutnya, situasi ini memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dan mengancam kualitas jurnalisme di Indonesia.
Iskandar menjelaskan, perusahaan media lokal kesulitan bersaing dengan algoritma dan jangkauan global platform digital. "Platform asing menguasai 70-80% pangsa pasar iklan digital. Media konvensional hanya mendapat remah-remahnya," ujarnya. Akibatnya, sepanjang 2024-2025, puluhan media nasional terpaksa merumahkan ratusan karyawan, termasuk wartawan berpengalaman.
Untuk mengatasi krisis, Iskandar menyerukan sinergi antara pemerintah, organisasi profesi, dan pelaku media mempunyai strategi. Selain itu, perusahaan media didorong memprioritaskan transisi yang manusiawi bagi pekerja terdampak PHK, seperti program reskilling dan penempatan ulang.
Di tingkat operasional, Iskandar mendorong media mengembangkan konten hiperlokal berbasis data dan investigasi mendalam. "Pembaca tetap membutuhkan jurnalisme berkualitas, tetapi dengan kemasan digital yang adaptif," tambahnya.
Iskandar mengingatkan, krisis media bukan hanya persoalan industri, tetapi juga ancaman bagi demokrasi. "Masyarakat akan kesulitan membedakan informasi valid dan hoaks jika jurnalisme profesional tergusur," katanya. Kolaborasi strategis menjadi harapan terakhir untuk memastikan media tetap menjadi pilar keempat demokrasi di tengah gempuran disrupsi teknologi.
![]() |
Ketua SMSI Surabaya Iskandar Bahas Dampak Digitalisasi pada Industri Media Nasiona |
Iskandar menjelaskan, perusahaan media lokal kesulitan bersaing dengan algoritma dan jangkauan global platform digital. "Platform asing menguasai 70-80% pangsa pasar iklan digital. Media konvensional hanya mendapat remah-remahnya," ujarnya. Akibatnya, sepanjang 2024-2025, puluhan media nasional terpaksa merumahkan ratusan karyawan, termasuk wartawan berpengalaman.
PHK Massal: Ancaman Hilangnya SDM Berkualitas dan Etika Jurnalistik
Dampak sosial dari krisis ini, menurut Iskandar, lebih dari sekadar angka pengangguran. "Kehilangan wartawan senior berarti kehilangan sumber daya yang paham verifikasi fakta, etika pemberitaan, dan analisis mendalam. Ini bisa memicu era post-jurnalisme, di mana konten informatif dikorbankan demi klik dan viralitas," tegasnya. Ia mencontohkan, banyak media kini mengandalkan konten clickbait dan user-generated content yang minim proses kurasi.Untuk mengatasi krisis, Iskandar menyerukan sinergi antara pemerintah, organisasi profesi, dan pelaku media mempunyai strategi. Selain itu, perusahaan media didorong memprioritaskan transisi yang manusiawi bagi pekerja terdampak PHK, seperti program reskilling dan penempatan ulang.
Di tingkat operasional, Iskandar mendorong media mengembangkan konten hiperlokal berbasis data dan investigasi mendalam. "Pembaca tetap membutuhkan jurnalisme berkualitas, tetapi dengan kemasan digital yang adaptif," tambahnya.
Iskandar mengingatkan, krisis media bukan hanya persoalan industri, tetapi juga ancaman bagi demokrasi. "Masyarakat akan kesulitan membedakan informasi valid dan hoaks jika jurnalisme profesional tergusur," katanya. Kolaborasi strategis menjadi harapan terakhir untuk memastikan media tetap menjadi pilar keempat demokrasi di tengah gempuran disrupsi teknologi.