iklan jual beli mobil

Wawancara: Arif Zulkifli, Jangan Cederai Kebebasan Berekspresi

Arif Zulkifli, Pemimpin Redaksi majalah berita mingguan Tempo. Dia juga Anggota Dewan Pers periode 2019 - 2022.

Perspektif Baru: Hari ini kita membicarakan mengenai hal yang sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kita membicarakan topik ini dengan seorang yang telah lama berkecimpung di dunia pers, yaitu Arif Zulkifli yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi majalah berita mingguan Tempo. Dia juga Anggota Dewan Pers periode 2019 - 2022.

Menurut Arif Zulkifli, saat ini ada bahaya yang mengancam kebebasan kita semua yang sekarang sedang dipertaruhkan berupa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalamnya ada pasal-pasal yang bersifat pasal karet, misalnya, pasal penghinaan terhadap kepala negara dan sebagainya.

Misalnya, jika pasal penghinaan terhadap kepala negara berlaku maka akan ada dua aturan, yaitu di dalam UU Pers dan dan KUHP. Bisa saja seseorang melaporkan media massa dengan menggunakan pasal ini dan kepolisian punya sebuah perangkat yaitu KUHP untuk ‘memberangus’ kebebasan, untuk memenjarakan wartawan, atau untuk menutup sebuah media karena dianggap melanggar dari pasal-pasal yang ada di KUHP yang baru itu.

Menurut Arif, itu sudah pasti akan berdampak pada kualitas pemberitaan. Wartawan akan berpikir berpuluh-puluh kali untuk dia menulis sesuatu. Dia tidak lagi bekerja berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik, tapi dia juga akan bekerja berdasarkan kecemasan bahwa dia akan terkena pada dampak berdasarkan UU itu.

Berikut wawancara Perspektif Baru dengan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber  Arif Zulkifli.
  • Beberapa waktu lalu dan masih terasa hingga kini, perhatian publik tertuju kepada rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang salah satunya memuat mengenai ketentuan-ketentuan kebebasan berekspresi termasuk di dalamnya kebebasan pers. Bagaimana Anda melihat mengenai rancangan KUHP ini?
Saya kira ada bahaya yang mengancam kebebasan kita semua yang sekarang sedang dipertaruhkan. Namun dengan tekanan begitu keras dari publik, akhirnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pembahasan tentang Rancangan KUHP.
  • Apa dampaknya kalau memang itu sampai disahkan?
Menurut saya, yang paling penting adalah adanya pasal-pasal yang bersifat pasal karet, misalnya, pasal penghinaan terhadap kepala negara dan sebagainya. Itu sangat mengancam karena bertentangan dengan prinsip-prinsip reformasi yang diwujudkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Di dalam UU No.40/1999 sangat jelas sekali bahwa media diberi hak penuh untuk mengungkap segala sesuatu yang menyangkut kepentingan publik dalam memenuhi hak publik untuk tahu, ‘the right to know’ dari masyarakatnya. Apa yang berhak diketahui oleh publik? Apapun yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Yang tidak termasuk kepentingan masyarakat luas misalnya gosip, hal-hal yang sifatnya pribadi atau bersifat privasi. Itu tidak termasuk tapi hal-hal yang di luar itu harus.

Misalnya, jika pasal penghinaan terhadap kepala negara berlaku maka akan ada dua aturan, yaitu di dalam UU Pers dan dan KUHP. Bisa saja seseorang melaporkan media massa dengan menggunakan pasal ini dan kepolisian punya sebuah perangkat yaitu KUHP untuk ‘memberangus’ kebebasan, untuk memenjarakan wartawan, atau untuk menutup sebuah media karena dianggap melanggar dari pasal-pasal yang ada di KUHP yang baru itu.
  • Jika pasal-pasal di KUHP yang baru itu jadi disahkan, apakah itu akan berdampak kepada kualitas pemberitaan?
Sudah pasti akan berdampak. Wartawan akan berpikir berpuluh-puluh kali untuk dia menulis sesuatu. Dia tidak lagi bekerja berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik, tapi dia juga akan bekerja berdasarkan kecemasan bahwa dia akan terkena pada dampak berdasarkan UU itu.

Prinsip dasar kerja jurnalistik itu seperti ini, media punya kemungkinan untuk salah tapi juga media punya kesempatan untuk tidak salah. Jadi yang penting adalah pembuktian, dan pembuktian oleh media bukanlah pembuktian berdasarkan ukuran-ukuran hukum, tapi pembuktian berdasarkan ukuran-ukuran jurnalistik. Itu dua hal yang berbeda.

Bila hal ini dipakai dengan UU yang pasal karet seperti tadi, maka bisa saja sebuah liputan itu benar secara jurnalistik atau memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik, tapi kemudian dikatakan bahwa dia tidak memenuhi kaidah-kaidah hukum. Itu berbahaya sekali. Misalkan, saya menulis bahwa seseorang terlibat dalam sebuah pembunuhan, lalu media menulis berdasarkan kerja jurnalistiknya banwa diduga yang membunuh adalah X. Kemudian masalah ini masuk ke dalam pengadilan dan di pengadilan ditemukan bahwa yang membunuh bukan X tapi Y, misalnya begitu.

Dengan Undang-Undang Pers, media tidak bisa disalahkan. Yang penting media menjalankan tugasnya berdasarkan standar kerja jurnalistik, yaitu apakah informasi tersebut dicek kebenarannya, apakah cover both side, apakah ada cek & ricek, dan apakah ada konfirmasi. Jika itu semua sudah dijalankan dan di ujung itu dia mengatakan bahwa diduga pelakunya adalah X, maka setelah pengadilan mengatakan yang membunuh adalah Y maka dia tidak bisa dihukum. Yang bisa dimintakan kepada media adalah mengoreksi pemberitaannya, bayangkan kalau proses ini kemudian ditumbangkan oleh KUHP dengan mengatakan bahwa berita yang kemarin itu adalah berita bohong.
  • Saat ini dengan adanya pasal-pasal karet atau multitafsir dalam Rancangan Undang-Undang tentang KUHP yang bisa mengancam kebebasan pers, apakah pasal itu hanya mengancam pers saja? Apakah bisa juga mengancam publik dalam mengekspresikan pendapatnya? 
Sebenarnya ancaman terhadap kebebasan berekspresi bagi publik sudah dimulai dengan dikeluarkannya UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut saya, itu sudah banyak korbannya sebetulnya. Ketika seseorang menyampaikan suatu informasi tertentu maka dia bisa dihukum dengan UU ITE. 

Itu juga terjadi kepada media massa, tapi dalam hal ini Dewan Pers berjuang keras. Dewan Pers  adalah sebuah dewan yang dibentuk atas amanat reformasi, dan amanat UU No.40/1999 untuk melindungi kebebasan pers namun bukan untuk membela pers. 

Jadi bukan persnya yang dibela tapi kebebasannya. Artinya, kalau pers menjalankan tugasnya itu tidak sesuai dengan kode etik maka dia bisa disalahkan. Dia tidak disalahkan sebagai kriminal tetapi dia harus minta maaf, dia harus meralat, dan sebagainya. Inilah yang tidak terjadi kepada kebebasan berpendapat di luar pers. Misalnya, kita membuat status Facebook, lalu disalahkan atau digugat, maka kita tidak akan bisa ke Dewan Pers karena itu bukan domainnya Dewan Pers. 

Jadi saya mau katakan bahwa di di level Undang-Undang ITE itu kebebasan sudah menemukan ancamannya, tapi memang di situ tentu saja ada dilema. Maksudnya ada dilema adalah sekarang di era sosial media seperti sekarang ini orang menjadi sangat bebas termasuk adalah bebas untuk menyampaikan informasi-informasi seperti tadi yang dibicarakan, hoaks dan berita bohong itu terjadi dalam 5-10 tahun terakhir di mana sosial media itu menemukan pasarnya begitu.
  • Nah inilah yang dipakai oleh para pembela UU ITE yang mengatakan bahwa kita tetap perlu supaya orang-orang yang mengacau di sosial media (Sosmed) itu bisa diluruskan. Namun apakah itu efektif? 
Kalau dilihat prakteknya dalam lima tahun terakhir kita tahu bahwa banyak sekali orang ditindak, orang ditangkap karena postingan-postingan tertentu, tapi efeknya juga tidak terlalu banyak. Artinya, hoaks dan fake news itu tetap ada.
  • Bagaimana dengan kebebasan pers di media mainstream? Ambil contoh kasus adalah mengenai covernya Koran Tempo yang digugat bahwa itu menghina kepala negara. Dalam hal ini apakah adanya tuntutan tersebut sudah merupakan suatu ancaman kebebasan pers?
Sebelumnya saya minta maaf karena saya tidak bisa terlalu banyak masuk ke isu cover Majalah Tempo karena saya Conflict of Interest. Di Dewan Pers saya adalah ketua komisi pengaduan dan etik, tapi saya tidak dilibatkan dalam pembahasan kasus cover Majalah Tempo yang Pinokio. Kami dipersoalkan oleh satu lembaga yang mengatasnamakan kelompok pendukung Jokowi, dan itu sedang dalam proses sekarang ini. 

Saya memang tidak bisa masuk di situ, tapi yang saya mau katakan kalau diabstraksi sedikit  adalah bila Rancangan UU KUHP itu nanti disahkan, maka menurut saya akan terjadi penurunan kualitas dari kritik-kritik terhadap kepala negara, kritik terhadap pemerintah karena jelas sekali  ancamannya di dalam Rancangan UU KUHP yang baru. 

Jadi mungkin orang atau media akan berpikir puluhan kali untuk menulis atau untuk membuat kartun dan sebagainya, padahal itu adalah ciri dari reformasi, ciri dari kehidupan yang demokratis seperti itu, terbuka bahkan dengan kritik yang keras. Buat saya sebetulnya kritik itu kalau dasarnya ada sebetulnya tidak ada yang perlu ditakutkan dan UU pers menjamin sekali bahwa kritik seperti itu diizinkan, yang penting ada argumentasinya.
  • Misalnya, ketika suatu media mengatakan kritik A, maka apa dasarnya? Dia harus punya dasar. Bila seseorang tidak punya dasar maka bisa dipersoalkan ke Dewan Pers, dan di Dewan Pers saya sebagai Ketua Komisi Etik akan mempersoalkan apa argumentasi orang itu? 
Saya mau kasih contoh yang sudah diputuskan, jadi ada sebuah tulisan di salah satu media yang mengkritik dari seorang sutradara, saya tidak akan sebut namanya tapi saya bayangkan sudah pada tahu yang di klaim atau mengklaim, bahwa karya dia sudah banyak di luar negeri dan sebaganya dan media mengkritik itu. 

Kritiknya tidak ada persoalan betapapun barangkali orang menilai atau si pengadu menilai bahwa ini kesannya sangat sepihak atau tidak berdasarkan bukti. Namuni ketika itu disampaikan sebagai opini di media, waktu itu adalah media opini atau bukan berita, maka dia tidak bisa dipakai dan dikenakan dalam dirinya kewajiban-kewajiban berita yaitu cover both side. Jadi dia boleh berpendapat. Waktu itu keputusan kita adalah “Anda tidak salah dengan kritik Anda, tapi Anda harus memuat tulisan lain yang mengimbangi” dalam hal ini adalah tulisan dari si pengadu.
  • Apakah mungkin dengan adanya KUHP yang memuat pasal-pasal karet atau multitafsir itu akan membuat profesi sebagai kritikus atau komentator akan hilang?
Mungkin tidak langsung hilang juga, tapi menurut saya akan terjadi penurunan yang luar biasa. Jadi orang itu akan dihantui oleh ketakutan.
  • Bagaimana dampaknya bagi Indonesia?
Bila orang tidak berani mengkritik, maka pemerintah akan jalan tanpa kritik. Kita lihat dari sekarang saja komposisi antara yang koalisi dan oposisi sudah sangat tidak seimbang. Sekarang ini oposisi tinggal berapa partai saja, siapa yang akan mengkritik jalannya pemerintahan? Pemerintah yang bergerak berdasarkan keinginan untuk mengkonsolidasikan sebanyak mungkin partai sehingga berkurang kritik, berarti mereka itu mengasumsikan bahwa potensi dia dalam mengambil keputusan atau kebijakan itu sedikit salahnya. 

Jadi sekarang mindset nya kacau bila pemerintah berpikir bahwa koalisi ini dibangun sebesar mungkin supaya nanti lancar pembangunan. Itu mengasumsikan bahwa pasti kebijakan itu benar. 
Padahal tidak bisa begitu cara memandangnya, selalu ada potensi untuk salah dan siapa yang meluruskan itu? Jawabannya adalah kritik, baik itu di dalam pemerintahan, atau legislatif, atau di dalam masyarakat. Itu pentingnya kritik melalui media massa.
  • Bagaimana Anda melihat mengenai kebebasan pers di Indonesia selama reformasi ini, apakah tindak kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi?
Kebebasan sebetulnya secara umum tentu saja sangat baik dibandingkan sebelum 1998, itu sudah pasti. Namun pertanyaannya adalah bebas untuk apa, dan bebas dengan cara apa, itu yang mesti dirumuskan. Tentu saja bebas untuk dia berperan di dalam dinamika masyarakat, pembangunan, dan sebagainya.  Bebas untuk mencapai itu, bebas dengan cara apa, ya bebas dengan cara dia menjalankan tugasnya tapi tetap dengan menghitung dan memperhatikan rambu-rambu. 

Kalau dalam dunia jurnalistik, dasarnya jelas sekali yaitu kode etik. UU No.40/1999 isinya kode etik. Kode etik itu bisa diturunkan dengan berbagai macam cara dan berbagai macam turunan. Apakah wartawan sudah menjalankan itu semua? Saya harus katakan belum. Di situlah Dewan Pers menjalankan perannya. Dewan Pers memberi tahu bagaimana tata cara penulisan berita yang baik agar terhindar dari pidana, jadi terus dibangun. Kalau diperhatikan, mediasi di dalam Dewan Pers itu sebetulnya isinya edukasi.
  • Selain tindak pidana, apakah ada juga yang menjadi korban tindak kekerasan?
Iya, terutama di daerah. Di Bali kita pernah menemukannya dan di Papua juga. Jadi polanya memang selalu sama, yaitu untuk ‘on the spotlight’ yaitu di Jakarta dan pusat-pusat kota, wartawan relatif punya kebebasan yang besar karena dia muncul di dalam dunia yang terang. Tapi semakin jauh dari pusat, seperti di Papua dan di mana-mana biasanya semakin kecil. Ini memang kemudian menjadi anomali ketika terjadi kerusuhan kemarin pada 21 - 22 Mei sampai yang September, sehingga analisanya berubah lagi bahwa kekerasan bisa juga terjadi di pusat. 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) saya kira sudah mengeluarkan statement yang sangat keras mengenai kekerasan aparat dalam demonstrasi yang kemarin. Tapi saya kira itu tentu harus dipersoalkan, tapi itu adalah sebuah pengecualian-pengecualian. Secara keseluruhan, sebenarnya kalau kita bicara tentang Jakarta dan Jawa barangkali sangat baik, namun mungkin yang harus jadi perhatian adalah di daerah-daerah.
  • Apakah secara keseluruhan Indonesia termasuk negara yang memiliki kebebasan pers yang lebih baik dibanding negara-negara lain?
Ada beberapa catatan atas kebebasan pers kita. Terakhir adalah kasus yang di Kalimantan, dimana ada seorang wartawan ditangkap oleh polisi lalu kemudian meninggal di dalam tahanan. Itu adalah sebuah catatan yang memperburuk atau mencederai standar kebebasan pers yang selama ini sudah dinilai baik. Meskipun juga, dari saya berbicara dengan pimpinan Dewan Pers yang lama, itu juga problematik karena selain wartawan dia juga aktivis. 

Jadi ada beberapa predikat dalam dirinya. Dia juga demonstran dan seterusnya terhadap kasus yang dia angkat. Ada penjelasan seperti itu. Tapi ketika dia menjadi wartawan dan dia menulis tentang kasus yang diangkat, dan kemudian dia ditangkap karena itu, maka saya kira hal ini mencederai kebebasan pers kita.
  • Secara global, reporter lintas batas pada tahun ini mengumumkan bahwa tindak kekerasan terhadap wartawan masih cukup tinggi, bahkan sampai ada tindak pembunuhan. Bagaimana peran publik untuk bisa turut menjaga kebebasan pers ini?
Yang pertama tentu saja adalah wartawannya dulu. Apakah wartawan, ini adalah bagian dari tugas dewan pers juga, memahami hak dan kewajibannya. Menurut saya, itu yang paling penting karena kadang-kadang banyak wartawan terutama di daerah yang menulis sesuatu, dipersoalkan oleh narasumbernya, kemudian dilaporkan ke polisi. Namun si wartawan ini tidak lapor ke Dewan Pers, padahal sebetulnya dia punya hak melapor kepada Dewan Pers untuk minta perlindungan kepada Dewan Pers. 

Ketika dia dipanggil oleh polisi maka dia bisa tolak. Dia bisa mengatakan bahwa kasus ini harus dilaporkan dulu ke Dewan Pers. Dewan pers bisa mengeluarkan surat kepada kantor polisi yang bersangkutan bahwa kami mendapatkan informasi tentang pemanggilan wartawan, maka si wartawan jangan dipanggil tapi bawa dulu kasusnya ke Dewan Pers. 

Sebetulnya kalau mekanisme itu bisa dijalankan dan tersosialisasikan dengan baik maka perlindungan wartawan akan jadi lebih bagus. Permasalahannya adalah tidak ada pengetahuan yang cukup, mungkin juga standar jurnalistik yang belum memadai, maka itu yang dipakai oleh si narasumber. Mungkin juga karena ada wartawan yang punya predikat berlapis-lapis, dia wartawan juga, dia aktivis juga, dia barangkali punya bisnis juga.
  • Apakah dalam profesi wartawan itu dimungkinkan atau diperbolehkan?
Sebetulnya secara etik tidak boleh. Itulah pentingnya wartawan independen, wartawan berpenghasilan cukup supaya dia bisa konsisten dengan profesinya. Itu karena saat dia agak men-dua dan men-tiga itu, maka dia akan punya masalah ketika dia berhadapan dengan persoalan-persoalan.
Kalau sebetulnya dia punya profesi yang lain tapi dia bisa tegaskan bahwa ini adalah kerja jurnalistik sebenarnya masih bisa dilindungi, tapi secara umum menurut saya mestinya kekerasan kepada wartawan itu tidak terjadi. 

Jadi ada unsur si wartawannya, ada unsur kualitas jurnalistiknya, tapi juga ada unsur aparat. Ini juga sebuah faktor yang cukup dominan dimana aparat tidak mengindahkan aturan yang ada. Aturan yang ada itu seperti ini, kalau ada orang melaporkan satu liputan jurnalistik kepada polisi kemudian polisi harus membawa ke Dewan Pers karena ada MoU antara Ketua Dewan Pers dengan kapolri. Jadi harus dibawa dulu ke Dewan Pers. 

Kalau polisinya tidak mau mengikuti aturan ini, lalu akhirnya masuk ke pengadilan sampai P21 ke jaksa, maka Jaksa juga ada MOU. Bila belum ke Dewan Pers maka akan dikembalikan lagi pada Dewan Pers. Begitu juga misalnya sampai ke hakim. Jadi selalu dikembalikan ke Dewan Pers.

Di Dewan Pers pengadilannya adalah pengadilan etik. Kalau salah maka dia harus minta maaf, harus membuat ralat, dan sebagainya. Kalau keputusan Dewan Pers itu ditolak oleh si wartawan atau si pengadu maka Dewan Pers akan mengeluarkan Penentuan Pendapat dan Rekomendasi (PPR) yang sifatnya final. Kalau tidak di jalankan maka pengadunya bisa bawa ke polisi. “Pak, saya sudah ke dewan pers, ini hasilnya tapi dia tidak menjalankannya.” Apabila terjadi seperti itu, maka silakan dilanjutkan secara hukum pidana. Jadi prosedurnya seperti itu.

Nanti begitu dilaporkan ke polisi dan masuk ke pengadilan, maka pengadilan akan kembali memanggil ahli dari Dewan Pers untuk menjadi saksi. Duduk perkaranya seperti apa nanti akan dijelaskan. Kalau hal ini bisa dijalankan, wartawannya akan menjadi profesional karena dia tahu prosesnya akan sangat melelahkan, dan narasumber juga tahu bahwa ini urusannya urusan berita sehingga mengapa harus dibawa ke unsur pidana. Ancaman itu kemudian datang sekarang dengan wujud KUHP.

###

Yayasan Perspektif Baru bekerjasama dengan Yayasan Konrad Adenauer memproduksi program PERSPEKTIF BARU, dimuat sebagai sindikasi empat koran se-Indonesia, yaitu  B Magazine, dan Harian Pagi Siwalima. rimanews.com, Suarajatim.com

Naskah ini merupakan transkrip wawancara radio yang disiarkan sindikasi ratusan stasion radio melalui Jaringan Radio KBR 68 H, Jaringan Radio Antero NAD, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Metro RGM Purwokerto, Global FM Bali, Lesitta FM Bengkulu, Maya Pesona FM Mataram, Pahla Budi Sakti Serang, Poliyama FM Gorontalo, BQ 99 FM Balikpapan, Gita Lestari Bitung, Dino FM Samarinda, Genius FM Pare-Pare, Civica FM Gorontalo, Shallom FM Tobelo Maluku Utara, Marss FM Garut, Sangkakala FM Banjarmasin, M83 FM Kutai Kartanegara, RPFM Kebumen, BFM Bangka Belitung, Sehati FM Bengkulu, , BPKB FM Gorontalo, Suara Pangaba Balikpapan, RDP Kutim,Citra FM, Hulontalo FM, Suara Celebes FM.
 
Hak cipta pada Yayasan Perspektif Baru, faks. (021) 722-9994, telp. (021) 727-90028 (hunting)
LihatTutupKomentar