Sorotan Pilkada di Era Pandemi dari Kaca Mata Tenaga Ahli Staf Kantor Presiden

pilkada pandemi
Sigit Pamungkas

Jakarta, Suarajatim.com - Menurut Sigit Pamungkas, Tenaga Ahli Utama Staf Kantor Presiden (KSP), Presiden telah menyampaikan bahwa Pilkada 2020 itu harus tetap dilaksanakan pada Desember 2020 dengan dua prinsip utama yaitu Pilkada harus demokratis dan aman COVID-19. 



Pilkada ini menjadi penting harus dilaksanakan karena kita dan semua bangsa tidak tahu kapan berakhirnya pandemi. Kedua, berbagai negara juga menyelenggarakan berbagai bentuk pemilihan di masa pandemi COVID-19. Ketiga, Pilkada di masa pandemi ini menjadi hal penting untuk menunjukkan kepada kita semua bahwa pemerintah berkomitmen untuk tetap menegakkan demokrasi. Tiga hal ini tidak menjadi variabel penting.

Sigit Pamungkas mengatakan isu politik identitas menjadi salah satu perhatian khusus dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2020.

Khusus terkait dengan penyelenggaran pemilihan ini dari Kementerian Kominfo ada semacam operasi di dunia maya untuk men-takedown akun-akun yang sifatnya provokatif, akun-akun yang menyebarkan berita hoaks, akun-akun yang memobilisasi poliltik identitas yang dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur (HM) sebagai pewawancara dengan narasumber Sigit Pamungkas (SP).


HM: Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan akan tetap menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada Desember 2020. Namun karena saat ini kita masih dalam masa pandemi COVID 19, sehingga banyak yang pro dan kontra mengenai rencana tersebut. Juga  banyak yang bertanya-tanya dan ragu Pilkada serentak 2020 akan tetap digelar. Apa betul Pilkada serentak 2020 akan tetap digelar dan mengapa?

SP: Saya ingin menyampaikan apa yang menjadi komitmen dan posisi pemerintah seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo ketika Rapat Terbatas terkait dengan pelaksanaan Pilkada. Presiden menyampaikan bahwa Pilkada 2020 harus tetap dilaksanakan di Desember tahun ini dengan dua prinsip utama, yaitu Pilkada harus demokratis dan aman dari COVID-19.

Mengapa Pilkada ini menjadi penting harus dilaksanakan? Pertama, kita tidak tahu kapan berakhirnya pandemi, semua bangsa tidak akan pernah tahu, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa memang Pilkada harus dilaksanakan. Kita tidak tahu tentang kapan berakhirnya pandemi ini, maka apa yang sudah direncanakan pada Desember 2020 menjadi pilihan.

Kedua, kalau kita melihat perspektif komparasi dari berbagai negara pada 2020, mereka juga menyelenggarakan berbagai bentuk pemilihan. Kita melihat data bahwa ada sekitar 70 negara atau wilayah atau daerah yang menunda pelaksanaan pemilihannya.

Namun ada sekitar 60 negara atau wilayah atau daerah yang juga melaksanakan pemilihan di masa pandemi COVID-19.Dengan kata lain bahwa memang ada kontroversi, ada perbedaan pendapat, tetapi bukan berarti kemudian tidak ada negara di dunia atau wilayah lain di dunia yang menyelenggarakan pemilihan. Di negara-negara demokratis juga melakukan pemilihan.

Ketiga, yang penting juga kita sampaikan bahwa Pilkada adalah satu penanda penting dari apa yang disebut dengan negara demokratis. Kalau kita melihat penilaian banyak pihak yang mengatakan Indonesia mengalami kemunduran demokrasi, sehingga kalau kita menunda Pilkada, kemudian orang mempersepsikan pemerintah ingin menguasai seluruh jaringan kekuasaan di provinsi maupun kabupaten dan kota, maka Indonesia menjadi tidak demokratis karena seluruh kekuasaan dan kepemimpinan politik itu adalah dipegang oleh kekuasaan birokrasi.

Karena itu menyelenggarakan Pilkada di masa pandemi ini menjadi hal penting untuk menunjukkan kepada kita semua bahwa pemerintah berkomitmen untuk tetap menegakkan demokrasi. Tiga hal ini tidak menjadi variabel penting.

HM:Jika suatu daerah tempat penyelengaraan Pilkada masih termasuk zona merah untuk COVID-19 apakah tetap akan digelar Pilkada tersebut. Bagaimana protokol kesehatannya?

SP: Presiden menyampaikan bahwa keselamatan dan kesehatan rakyat pemilih di dalam pemilihan ini adalah segala-galanya. Karena itu disampaikan oleh presiden agar penyelenggara sungguh-sungguh, pertama, membuat protokol kesehatan supaya penyelenggara, peserta, dan pemilih tidak terpapar COVID-19.

Kedua, melakukan penegakan disiplin atas semua proses yang terkait dengan tahapan-tahapan Pilkada. Jadi kalau kita mengikuti dua hal tersebut maka yang dikawatirkan oleh banyak pihak akan bisa dikurangi.Tentu sebagai sebuah potensi seseorang terpapar COVID-19, baik terselenggara Pilkada ataupun tidak, itu terbuka.

Namun sepanjang penegakan disiplin dan protokol kesehatan dipatuhi dengan baik, saya kira apa yang disampaikan presiden bahwa keselamatan dan kesehatan pemilih, peserta, serta penyelenggara pemilu bisa diamankan, dan yang menjadi kekhawatiran kita tidak akan terjadi seperti yang ditakutkan banyak pihak.

HM: Apakah pemerintah telah memperhitungkan apatisme pemilih sebab masyarakat sedang fokus soal kesehatan dan ekonomi di tengah pandemi ini?

SP: Itu juga menjadi perhatian dari pemerintah. Bahwa ada kemungkinan warga akan takut datang untuk ke pemilihan karena berbagai pertimbangan, terutama terkait kemungkinan terpapar COVID-19.

Di sinilah sebenarnya peran penting dari sosialisasi kita semua terutama penyelenggara Pilkada untuk menyampaikan kepada pemilih bahwa mereka menerapkan protokol COVID-19 dalam setiap tahapannya termasuk pada hari H pemilihan.Dari paparan yang sudah disampaikan Ketua KPU pada saat rapat terbatas tentang Pilkada, mereka menyampaikan bahwa ada 12 hal baru terkait dengan pemilihan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Misalnya, satu, diatur waktu dari kehadiran pemilih. Kedua, semua petugas  memakai alat pelindung diri (APD), pemilih juga diwajibkan memakai masker. Lalu berikutnya juga disampaikan bahwa ketika terkait dengan penanda tinta tidak lagi dicelupkan tetapi akan diteteskan, dan sebagainya.

Jadi sosialisasi menjadi variabel penting untuk meyakinkan kepada pemilih bahwa keseluruhan standar penyelenggaraan Pilkada sudah sesuai, atau bisa melindungi pemilih dari kemungkinan terpapar COVID-19.

Ini adalah harapan kita, sosialisasi ini menjadi lebih intensif karena kalau tidak dilakukan oleh kita semua, tentu kekhawatiran kita tentang voters turnout juga tidak akan sebaik yang kita harapkan. Kalau target dari penyelenggara pemilu adalah 77,5%, dan itu suatu target yang tinggi sekali.Di beberapa negara memang ketika pemilihan digelar di masa pandemi ini ada yang meningkat seperti di Korea Selatan.

Di sana untuk pertama kali dalam 25 tahun pemilihan di Korea Selatan memiliki voters turnout justru tinggi pada masa pandemi. Tetapi di beberapa tempat lain mengalami penurunan. Dengan sosialisasi yang baik kita harapkan pemilih memahami bahwa mereka terlindungi di dalam proses Pilkada ini.

HM: Apakah dengan adanya sosialisasi akan membuat partisipasi pemilih tinggi karena kalau menurut pandangan saya pasti kelompok lanjut usia atau kelompok rentan lainnya akan memperhitungkan untuk tidak datang ke TPS agar mereka tidak tertular virus Corona?

SP: Kalau kita lihat apa yang disiapkan oleh penyelenggara pemilu terkait dengan hari H pemilihan, KPU juga memikirkan untuk menghadiri atau mendatangi pemilih yang mengalami kesulitan hadir di tempat pemilihan terutama yang sakit.

Tentunya kita lihat di sini kesungguhan dari penyelenggara Pemilu untuk bagaimana partisipasi ini bisa diraih dengan sebaik-baiknya.Tidak hanya menunggu, membuat TPS sesuai dengan apa yang ditentukan. 

Namun mereka juga melakukan tindakan pro aktif dengan menjemput atau mendatangi pemilih yang mengalami kesulitan terkait dengan penggunaan hak pilih. Ini tentu kita apresiasi lagi kepada penyelenggara Pemilih yang sungguh-sungguh memperhatikan hak warga negara terkait dengan hak pilih mereka di dalam Pilkada.

HM: Ada juga suara-suara dari publik, dan dari masyarakat bahwa penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi ini akan lebih menguntungkan petahana atau incumbent karena diduga bisa memainkan politik uang dengan berupa menyalurkan bantuan COVID-19 sebagai bentuk kampanye mereka. Bagaimana pemerintah mencegah hal ini?

SP: Tentu potensi itu ada bahwa incumbent akan menyalahgunakan kekuasaannya terkait dengan bantuan sosial (Bansos) yang memang harus dilakukan.

Tetapi kalau mereka disebut lebih beruntung dalam konteks ini, sebenarnya tidak juga karena kalau incumbent tidak menunjukkan kinerja yang baik di dalam penanganan COVID-19, misal COVID-nya menyebar tidak terkendali, maka itu bisa menjadi hal yang problematik bagi incumbent.

Terkait dengan kemungkinan penyimpangan, tentu ini menjadi tugas kita bersama untuk memastikan bahwa tidak ada penyimpangan yang dilakukan oleh incumbent. Apabila ada, kita laporkan bersama-sama.

Ada Bawaslu yang sudah proaktif, dan juga KPK yang sudah memposisikan diri akan mengawasi secara khusus terkait dengan daerah-daerah yang mengalami pemilihan ini, dan bagaimana sembako ini akan didistribusikan.

Jadi ada ruang yang dikontrol oleh kita semua untuk memastikan penyimpangan bantuan itu tidak meguntungkan salah satu pihak, dalam hal ini adalah incumbent.

Ketiga, sebenarnya ketika masa Pilkada, incumbent saat dia mencalonkan maka statusnya menjadi cuti. Jadi kalau saat ini sudah mulai melakukan pendaftaran, nanti begitu ditetapkan maka mereka yang incumbent harus menjalani cuti.

Ketika cuti maka mereka sudah tidak memegang kendali pemerintahan. Pada titik itu maka kekuasaan dari incumbent adalah berkurang.

HM: Lalu, bagaimana upaya-upaya pemerintah agar Pilkada serentak gelobang keempat pada Desember 2020 tidak diwarnai lagi oleh politik identitas?

SP: Tentu ini menjadi perhatian kita bahkan sejak menguatnya isu politik identitas di beberapa tempat, itu telah menjadi program nasional untuk melakukan moderasi, seperti moderasi cara beragama, berkehidupan berbangsa dan bernegera.

Dia menjadi program nasional. Khusus terkait dengan penyelenggaran pemilihan ini dari Kementerian Kominfo ada semacam operasi di dunia maya untuk men-takedown akun-akun yang sifatnya provokatif, akun-akun yang menyebarkan berita hoaks, akun-akun yang memobilisasi poliltik identitas yang dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Jadi pemerintah pro aktif melakukan itu dan di kalangan masyarakat sipil pun kita dorong untuk melakukan hal yang sejenis. Misalnya temen-temen civil society ada satu kegiatan khusus melakukan pelatihan ke sejumlah civil society lainnya untuk menjadi volunteer terlibat di dalam proses memoderasi wacana di dalam Pilkada supaya politik identitas ini tidak menguat.

Ini menjadi perhatian kita semua.Kalau kita merujuk kepada Undang-Undang Pilkada sebenarnya sudah ada ketentuan melarang politik identitas di dalam kampanye. Di sini kita menunggu peran dari Bawaslu supaya memperhatikan aspek ini karena ini menjadi perhatian kita semua terkait dengan pertaruhan kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

HM: Apa yang harus dilakukan oleh masyarakat saat menghadapi dan jika ada politik-politik identitas kembali digelar di Pilkada seretak 2020?

SP: Kalau terkait dengan kontestan maka Bawaslu menjadi institusi yang paling relevan untuk memproses terjadinya politik identitas. Dia bisa menilai apakah ini sesuatu yang melanggar atau tidak.

Kedua adalah yang bisa dilakukan melaporkan. Kalau dia tidak terkait dengan proses kontensasi langsung, maka bisa juga melaporkan kepada kepolisian bahwa ada calon atau pendukung yang memobilisasi politik identitas.

Lalu yang ketiga kalau terjadi di dunia maya atau media sosial, maka bisa juga langsung melaporkan kepada media sosial itu. Misalnya Facebook membuka ruang Facebook, juga membuka pelatihan-pelatihan untuk anti hoaks, anti pernyataan-pernyataan yang berbau kekerasan di dalam Pilkada untuk di takedown.

Saya sebelum bergabung di Kantor Staf Presiden juga menjadi bagian partner dari Facebook untuk meneliti apakah ini ujaran yang mengandung kebencian atau tidak. Dari rekomendasi kami kemudian Facebook akan men-takedown atau membiarkannya. Jadi peran masyarakat sipil sangat penting dalam proses-proses ini.

HM: Apa ujaran kebencian atau politik identitas yang sering muncul di Pilkada agar ini menjadi perhatian masyarakat yang wilayahnya akan menjadi penyelanggara Pilkada 2020?

SP: Itu tergantung pada area kontestasi, mana yang paling mudah di kapitalisasi untuk mendapatkan suara. Kalau daerah itu sentimen agama menjadi penarik untuk mendapatkan dukungan, maka biasanya yang menjadi instrumen adalah isu-isu ujaran kebencian yang terkait dengan agama.

Tetapi kalau di daerah itu menjadi penarik besar adalah terkait dengan etnisitas, maka etnisitas atau suku menjadi salah satu instrumen yang biasanya dimobilisasi sedemikan rupa untuk membangkitkan emosi pemilih supaya tidak memilih suku A, B, yang menjadi peserta di dalam kontestasi Pilkada ini. Jadi dua hal itu menjadi variabel penting untuk dilihat dan dicermati terkait dengan politik identitas.
LihatTutupKomentar