SUARAJATIM - Pertamina telah mengimplementasikan sistem digital untuk penyaluran solar subsidi bagi nelayan, melibatkan aplikasi My Pertamina dan verifikasi barcode. Langkah ini bertujuan memastikan bantuan tepat sasaran sesuai Perpres No. 191 Tahun 2014, yang mengatur hak nelayan kapal di bawah 30 GT dan pembudidaya ikan kecil terdaftar. Meski mendapat apresiasi, pakar mengingatkan celah potensial penyalahgunaan.
Ciplis Gema Qoriah, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, menyatakan langkah Pertamina sudah sesuai. Namun ia mengingatkan perlunya kewaspadaan terhadap praktik tidak semestinya, "Sementara ini saya lihat apa yang dilakukan Pertamina sudah tepat. Hanya saja, pembeli dengan barcode apakah digunakan untuk usaha atau ditimbun, itu belum terdeteksi. Juga untuk usaha atau dijual lagi, belum terlacak juga."
"Masih ada kemungkinan terjadinya moral hazard dari pihak nelayan, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), maupun pihak tertentu yang memainkan peran di black market."
Ciplis menekankan validasi data sebagai fondasi krusial. Kolaborasi dengan Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja, dan Sosial diperlukan untuk memutakhirkan basis data penerima. Pengecekan berkala terhadap profesi keturunan nelayan juga vital, "Data penerima harus diikuti atau di-tracing secara berkala, supaya anak atau keturunan dari keluarga nelayan juga terlacak, apakah penghidupannya juga nelayan atau sudah berpindah pekerjaan. Ini bertujuan untuk mengetahui butuh atau tidak solar bersubsidi."
"Data nelayan sebagai pekerja ataupun pemilik moda serta alat nelayan harus tercatat. Dengan demikian tidak terjadi kekeliruan sasaran penerima."
Bambang Budiarto, Dosen Ekonomi Universitas Surabaya, menyentil akar masalah: model subsidi melekat pada barang, bukan penerima. Pendekatan ini, menurutnya, membuka ruang manipulasi, "Dalam memberikan subsidi, harus melekat pada orang, jangan melekat pada barang. Pendekatan subsidi pada barang, di mana produk dijual murah ke masyarakat, rentan disalahgunakan dan sulit dikontrol."
Ia mengakui upaya digitalisasi Pertamina, namun menyoroti kompleksitas pengawasan administratif. Solusinya terletak pada ketepatan seleksi penerima barcode, "Solusi yang paling efektif adalah dengan memastikan barcode hanya diberikan kepada orang yang betul-betul memenuhi kriteria."
Pertamina juga didorong memperluas peran melalui program tanggung jawab sosial. Bantuan peralatan atau pendampingan hilirisasi produk perikanan dapat memperkuat mata pencaharian nelayan. Syaratnya, pelaksanaannya transparan dan terintegrasi dalam data nasional.
Upaya meminimalkan kebocoran subsidi solar nelayan kini bergantung pada dua hal: ketangguhan sistem verifikasi data dan perubahan paradigma dari subsidi barang menjadi subsidi penerima. Sinergi pemerintah daerah, kementerian, dan Pertamina menjadi penentu.
![]() |
Ilistrasi truk tangki Pertamina di SPBU (Foto: Dok. Pertamina) |
"Masih ada kemungkinan terjadinya moral hazard dari pihak nelayan, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), maupun pihak tertentu yang memainkan peran di black market."
Ciplis menekankan validasi data sebagai fondasi krusial. Kolaborasi dengan Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja, dan Sosial diperlukan untuk memutakhirkan basis data penerima. Pengecekan berkala terhadap profesi keturunan nelayan juga vital, "Data penerima harus diikuti atau di-tracing secara berkala, supaya anak atau keturunan dari keluarga nelayan juga terlacak, apakah penghidupannya juga nelayan atau sudah berpindah pekerjaan. Ini bertujuan untuk mengetahui butuh atau tidak solar bersubsidi."
"Data nelayan sebagai pekerja ataupun pemilik moda serta alat nelayan harus tercatat. Dengan demikian tidak terjadi kekeliruan sasaran penerima."
Bambang Budiarto, Dosen Ekonomi Universitas Surabaya, menyentil akar masalah: model subsidi melekat pada barang, bukan penerima. Pendekatan ini, menurutnya, membuka ruang manipulasi, "Dalam memberikan subsidi, harus melekat pada orang, jangan melekat pada barang. Pendekatan subsidi pada barang, di mana produk dijual murah ke masyarakat, rentan disalahgunakan dan sulit dikontrol."
Ia mengakui upaya digitalisasi Pertamina, namun menyoroti kompleksitas pengawasan administratif. Solusinya terletak pada ketepatan seleksi penerima barcode, "Solusi yang paling efektif adalah dengan memastikan barcode hanya diberikan kepada orang yang betul-betul memenuhi kriteria."
Pertamina juga didorong memperluas peran melalui program tanggung jawab sosial. Bantuan peralatan atau pendampingan hilirisasi produk perikanan dapat memperkuat mata pencaharian nelayan. Syaratnya, pelaksanaannya transparan dan terintegrasi dalam data nasional.
Upaya meminimalkan kebocoran subsidi solar nelayan kini bergantung pada dua hal: ketangguhan sistem verifikasi data dan perubahan paradigma dari subsidi barang menjadi subsidi penerima. Sinergi pemerintah daerah, kementerian, dan Pertamina menjadi penentu.