SUARAJATIM - Ketika hasil pengobatan tidak berjalan sesuai harapan, emosi sering kali lebih dulu berbicara. Kalimat seperti “obatnya tidak cocok”, “petugasnya kurang teliti”, hingga tuduhan malpraktik kerap muncul di tengah kecemasan pasien dan keluarga. Padahal, dalam praktik kedokteran, tidak semua kejadian yang merugikan pasien dapat langsung disimpulkan sebagai kesalahan tenaga medis.
Dokter Spesialis Orthopedi RS Marinir Cilandak, Jakarta Selatan, dr. Agung Malinda Wijaya, SpOT, AIFO-K, menekankan pentingnya pemahaman publik tentang perbedaan antara Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) dan malpraktik medis. Edukasi ini menjadi krusial agar kepercayaan terhadap layanan kesehatan tetap terjaga sekaligus melindungi hak pasien dan tenaga medis.
Kejadian Tidak Diinginkan atau KTD adalah peristiwa medis yang merugikan pasien dan muncul selama proses perawatan. Namun, KTD tidak selalu berakar pada kesalahan dokter atau rumah sakit. Dalam banyak kasus, kondisi ini muncul akibat faktor yang memang melekat pada tubuh manusia dan penyakit itu sendiri.
“KTD bisa terjadi meskipun prosedur medis sudah dijalankan sesuai standar,” jelas dr. Agung, Spesialis bedah tulang dan Ahli Fisiologi Olahraga Klinis.
Ia mencontohkan beberapa situasi yang tergolong KTD, seperti reaksi alergi obat walau dosis telah diberikan dengan benar, infeksi pascaoperasi meski prosedur steril diterapkan secara ketat, hingga kondisi pasien yang mendadak memburuk akibat penyakit penyerta atau komorbid.
Kompleksitas tubuh manusia membuat hasil perawatan tidak pernah bisa dijamin seratus persen.
Setiap individu memiliki respons tubuh yang berbeda. Sistem imun tidak sama, perjalanan penyakit dapat berubah cepat, dan setiap tindakan medis selalu membawa risiko bawaan. Inilah alasan mengapa dalam dunia medis, kegagalan hasil bukan otomatis berarti kesalahan.
Berbeda dengan KTD, malpraktik medis memiliki definisi yang jauh lebih spesifik. Malpraktik terjadi ketika ada kesalahan profesional yang nyata dan menyebabkan kerugian pada pasien. Kesalahan ini muncul karena tenaga kesehatan menyimpang dari standar pelayanan atau melakukan kelalaian.
“Malpraktik selalu melibatkan unsur kesalahan yang bisa dibuktikan,” ujar dr. Agung.
Beberapa contoh malpraktik antara lain pemberian dosis obat yang jauh melebihi batas aman, mengabaikan kondisi gawat darurat, melakukan tindakan tanpa kompetensi yang sesuai, atau kesalahan fatal akibat tidak mengikuti prosedur medis yang berlaku. Dalam kasus seperti ini, terdapat hubungan sebab-akibat yang jelas antara tindakan tenaga medis dan kerugian yang dialami pasien.
Perbedaan mendasar antara KTD dan malpraktik terletak pada ada atau tidaknya kesalahan. KTD dapat terjadi meski dokter sudah bekerja sesuai standar dan merupakan bagian dari risiko medis. Meski demikian, setiap KTD tetap wajib dilaporkan dan dievaluasi sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu layanan.
Sementara itu, malpraktik bukan risiko, melainkan kelalaian, sehingga pasti melalui investigasi etik dan hukum.
Edukasi juga perlu diberikan kepada masyarakat dan keluarga pasien. Ketika menghadapi hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan, langkah pertama adalah meminta penjelasan medis secara terbuka. Pasien dan keluarga berhak memahami kemungkinan risiko, komplikasi, serta rencana evaluasi atau pemulihan yang akan dilakukan oleh tim medis.
Di sisi lain, tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab besar dalam membangun komunikasi yang jujur dan transparan sejak awal. Risiko dan komplikasi perlu disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Dokumentasi medis yang lengkap bukan hanya kewajiban administratif, tetapi juga bentuk perlindungan bagi semua pihak.
“Jika terjadi KTD, laporkan, analisis, dan edukasikan. Transparansi adalah kunci membangun kepercayaan publik,” kata dr. Agung.
Ia mengingatkan bahwa masyarakat tidak belajar kedokteran, sehingga tenaga medis harus menjadi jembatan pemahaman. Dokter bukan sosok tanpa cela, melainkan manusia yang menjalankan profesi dengan ilmu, etika, dan tanggung jawab. Pasien pun bukan objek pasif, melainkan manusia yang memiliki hak untuk bersuara dan memahami setiap proses yang dijalaninya.
![]() |
| Foto ilustrasi perawatan medis |
Kejadian Tidak Diinginkan atau KTD adalah peristiwa medis yang merugikan pasien dan muncul selama proses perawatan. Namun, KTD tidak selalu berakar pada kesalahan dokter atau rumah sakit. Dalam banyak kasus, kondisi ini muncul akibat faktor yang memang melekat pada tubuh manusia dan penyakit itu sendiri.
“KTD bisa terjadi meskipun prosedur medis sudah dijalankan sesuai standar,” jelas dr. Agung, Spesialis bedah tulang dan Ahli Fisiologi Olahraga Klinis.
Ia mencontohkan beberapa situasi yang tergolong KTD, seperti reaksi alergi obat walau dosis telah diberikan dengan benar, infeksi pascaoperasi meski prosedur steril diterapkan secara ketat, hingga kondisi pasien yang mendadak memburuk akibat penyakit penyerta atau komorbid.
Kompleksitas tubuh manusia membuat hasil perawatan tidak pernah bisa dijamin seratus persen.
Setiap individu memiliki respons tubuh yang berbeda. Sistem imun tidak sama, perjalanan penyakit dapat berubah cepat, dan setiap tindakan medis selalu membawa risiko bawaan. Inilah alasan mengapa dalam dunia medis, kegagalan hasil bukan otomatis berarti kesalahan.
Berbeda dengan KTD, malpraktik medis memiliki definisi yang jauh lebih spesifik. Malpraktik terjadi ketika ada kesalahan profesional yang nyata dan menyebabkan kerugian pada pasien. Kesalahan ini muncul karena tenaga kesehatan menyimpang dari standar pelayanan atau melakukan kelalaian.
“Malpraktik selalu melibatkan unsur kesalahan yang bisa dibuktikan,” ujar dr. Agung.
![]() |
| dr. Agung Malinda Wijaya, SpOT, AIFO-K |
Perbedaan mendasar antara KTD dan malpraktik terletak pada ada atau tidaknya kesalahan. KTD dapat terjadi meski dokter sudah bekerja sesuai standar dan merupakan bagian dari risiko medis. Meski demikian, setiap KTD tetap wajib dilaporkan dan dievaluasi sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu layanan.
Sementara itu, malpraktik bukan risiko, melainkan kelalaian, sehingga pasti melalui investigasi etik dan hukum.
Edukasi juga perlu diberikan kepada masyarakat dan keluarga pasien. Ketika menghadapi hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan, langkah pertama adalah meminta penjelasan medis secara terbuka. Pasien dan keluarga berhak memahami kemungkinan risiko, komplikasi, serta rencana evaluasi atau pemulihan yang akan dilakukan oleh tim medis.
Di sisi lain, tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab besar dalam membangun komunikasi yang jujur dan transparan sejak awal. Risiko dan komplikasi perlu disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Dokumentasi medis yang lengkap bukan hanya kewajiban administratif, tetapi juga bentuk perlindungan bagi semua pihak.
“Jika terjadi KTD, laporkan, analisis, dan edukasikan. Transparansi adalah kunci membangun kepercayaan publik,” kata dr. Agung.
Ia mengingatkan bahwa masyarakat tidak belajar kedokteran, sehingga tenaga medis harus menjadi jembatan pemahaman. Dokter bukan sosok tanpa cela, melainkan manusia yang menjalankan profesi dengan ilmu, etika, dan tanggung jawab. Pasien pun bukan objek pasif, melainkan manusia yang memiliki hak untuk bersuara dan memahami setiap proses yang dijalaninya.


