Kisah Dasep Ahmadi, Pencipta Mobil Listrik Indonesia yang Berjuang untuk Bebas

dasep ahmadi dahlan iskan
Masa-masa kebersamaan. Foto: Istimewa

Buah jatuh tak pernah jauh dari pohonnya. Pepatah itu berlaku buat Dasep Ahmadi. Dekat dengan dunia otomotif sejak kecil, dia pun mencurahkan segala waktu, pikiran, dan tenaganya di bidang tersebut. Dikenal publik sebagai pencipta mobil listrik, dia malah meringkuk di tahanan karena karyanya tersebut.

Sejak kecil, laki-laki kelahiran 18 Januari 1965 itu sudah akrab dengan otomotif. Ayahnya memiliki sebuah usaha reparasi mesin baik untuk roda dua maupun roda empat. Saat ujian kelulusan SMA, dia meraih nilai 10 untuk pelajaran Fisika. Hasil itu memuluskan langkahnya berkuliah di jurusan Teknik Mesin di Institut Teknologi Bandung tahun 1984.

Laki-laki kelahiran Ciemas, Sukabumi, itu pun aktif di kompetisi ilmiah. Juara Nasional lomba purwarupa robot diraihnya tahun 1987. Kecintaannya pada dunia mekatronika membuatnya memenangi lomba prestisius lain, Juara Nasional dengan karya berupa alat penghemat bahan bakar tahun 1989.

“Dunia mekatronika itu yang jadi cikal bakal saya membuat mobil listrik,” kata Dasep kepada kami yang menemui di ‘kamar prodeo’-nya. Tahun 1990, dia lulus dari ITB dan bekerja di PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad). Tahun 1992, dia pindah ke PT Astra International di bagian Pengembangan Teknologi.

Setahun bekerja di Astra, Dasep meraih beasiswa ke Jerman untuk mendalami ilmu mekatronika. Pulang ke Tanah Air tahun 1994, dia dimutasi ke bidang permesinan PT Astra Daihatsu Mobil. Laki-laki yang kini berusia 50 tahun itu ikut merancang dan merakit mesin Daihatsu Espass dan Taruna.

Titik balik karirnya terjadi ketika krisis ekonomi tahun 1998. Dasep memutuskan berhenti dari Astra. Para kolega menganggap hal itu gila karena berhenti dari perusahaan besar di saat krisis ekonomi. Namun Dasep tetap pada keyakinannya.

Warga Depok, Jawa Barat, itu lalu mendirikan perusahaan bernama PT Sarimas Ahmadi Pratama yang bergerak di sektor produksi mesin. Keyakinannya berbuah manis. Dia menjadi penyuplai alat penguji motor berupa Test Bench Engine bagi pabrikan motor seperti Honda dan Yamaha.

Usahanya makin lancar karena menerima pesanan alat pengujian untuk mobil Toyota dan Honda. Bahkan, dia berhasil mengekspor mesin buatannya hingga ke Malaysia tahun 2005. Ilmuwan bergelar Insinyur itu juga mampu membuat mesin 1 Silinder 4-Tak untuk Bajaj. “Mesinnya utuh, juga sudah dites dan bisa jalan,” kata dia sambil tersenyum.

Babak baru hidupnya dimulai ketika dunia mulai beralih ke teknologi ramah lingkungan. Tahun 2012, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menjajaki proyek mobil nasional. Dahlan pun mencari seorang ahli permesinan di ITB. Nama Dasep Ahmadi muncul karena rekam jejaknya jelas. Dasep pun masuk ke dalam tim bernama Putra Petir yang berisi para ahli mesin dan elektronik.

Proyek dimulai dengan mobil berwarna hijau yang diberi nama Evina (Electric Vehicle Indonesia). Menteri Dahlan menyatakan mobil tersebut layak untuk dikembangkan. Publik pun bereaksi positif terhadap karyanya.

Tahun 2013, dia juga menggarap proyek serupa, yakni membuat mobil listrik untuk digunakan tamu VIP dalam penyelenggaraan APEC di Indonesia. Tapi penyelesaian mobil itu meleset dari target. Dia pun dianggap lalai dan merugikan negara Rp 32 miliar. Kejaksaan Agung juga menganggap sang innovator menggelembungkan anggaran karena tingginya biaya produksi.

Dasep menyangkal tuduhan itu. Menurutnya, kontrak yang disepakati adalah membuat mobil purwarupa alias prototype. Perakitan mobil listrik itu memang diakui menggunakan komponen yang mahal, namun kualitas terbaik. Alasannya, dia tidak mau berjudi dengan memakai barang kualitas rendah untuk proyek tersebut.

“Soal kemahalan itu karena purwarupa belum memang siap produksi, kalau sudah siap produksi tentu lebih murah,” ujar dia. Pembuatan mobil prototype sangat mungkin berubah-ubah karena tak ada model perancangan yang baku sebelumnya. Apalagi Dasep juga mengembangkan sendiri mobil-mobil tersebut.

Namun argumentasi itu tidak diterima oleh Kejaksaan Agung. Dasep harus meringkuk di ruang tahanan lantai 7A, kamar 14 Kejagung sejak akhir Juli 2015 lalu. Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek mobil listrik pada tahun anggaran 2013. Dasep sendiri baru menerima Rp 27 miliar dari total kontrak Rp 32 miliar.

“Tapi kalau seluruhnya dari pengembangan habis Rp 40 miliar,” kata dia.

Meski kecewa, dia menyatakan kasus ini tidak akan menghentikan kiprahnya. Dasep menyatakan akan terus berjuang karena yakin tidak bersalah. Apalagi mobil produksinya tak pernah cacat produksi. Soal kecepatan mobil yang rendah, dia menyatakan semuanya diatur sebagai prosedur keselamatan karena baru berupa prototype.

“Kan sekarang mobilnya juga tidak pernah bermasalah,” ujar dia. Lagipula, proses riset dan penelitian memang sangat mungkin menemui kegagalan. Dia tidak sepakat jika kegagalan riset dianggap kategori pidana. “Kalau seperti itu tentu tidak ada yang mau meneliti lagi jadinya,” kata Dasep menambahkan.

Kepala Subdirektorat Penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Sarjono Turin menganggap Dasep memenuhi unsur korupsi karena karena mekerugian negara Rp 32 miliar. Jumlah itu setara 18 mobil yang sudah dibuat. Dasep dianggap memperkaya diri dengan menggelembungkan biaya. “Mustahil mobilnya seharga Rp 2 miliar per unit,” ujar dia

Pengacara Dasep Ahmadi, Vidi Galenso, mengatakan tuduhan kepada kliennya sumir. Tuduhan bahwa inovator mobil listrik itu gagal memenuhi kesepakatan adalah salah alamat. Sebab kasus itu tergolong kasus perdata sehingga tidak bisa dipidana. Apalagi, kegagalan dalam sebuah riset adalah hal yang lumrah.

“Dokumen kontrak juga menyebut prototype dan itu termasuk riset, sedangkan dalam riset kegagalan itu tidak bisa dianggap kerugian,” kata Vidi.


Penulis : Dimas Siregar, Wartawan Tabloid Carmoto edisi September 2015
LihatTutupKomentar