SUARAJATIM - Media sosial kembali ramai. Kali ini gara-gara unggahan bule bernama Sean Mahoney yang pamer dikawal polisi saat berangkat ke bandara di Jakarta. Postingan yang terlihat santai itu langsung bikin publik Indonesia naik darah.
Lewat akun Threads-nya, Mahoney menulis,
“Salah satu hal terbaik yang saya lakukan kemarin adalah mengatur pengawalan polisi menuju bandara di Jakarta.”
![]() |
| Postingan bule dikawal polisi menuju bandara Jakarta menuai kecaman publik karena dianggap menyalahgunakan fasilitas umum. |
Bagi warganet, tulisan Mahoney bukan sekadar cerita bule yang norak. Tapi juga simbol dari sesuatu yang sudah lama bikin orang geram: fasilitas negara yang dipakai untuk kepentingan pribadi.
“Ngapain Polisi di Sana?”
Akun @chanisaraa langsung menulis komentar pedas, “Ngapain polisi di sana??? Polisi ngawal orang cuma karena dibayar??? Bangga banget nerima suap. Sebut namanya, permalukan!”
Pengguna lain, @os.moti, ikut nyindir,
“Bro, dikawal polisi bukan hal keren yang kamu kira. Warga Jakarta udah stres sama macet, kamu malah bikin tambah parah. Datang lagi kalau kamu ngantarin jantung buat transplantasi — mending jantungmu sendiri.”
Nada kesal juga datang dari @celiapi,
“Kamu siapa dan apa urgensimu sampai butuh pengawalan kayak gitu? Kita semua butuh penjelasan yang masuk akal! @polantasid.”
![]() |
| Postingan bule dikawal polisi menuju bandara di Jakarta |
Bahkan ada yang menyinggung soal hukum internasional. Akun @jyuswan menulis,
“Layanan yang kamu terima itu nggak resmi. Uang yang kamu bayar nggak masuk kas negara. Kalau kamu tahu FCPA atau UK Bribery Act, ini bisa dikategorikan suap.”
Reaksi keras ini bukan cuma soal satu orang bule. Banyak orang merasa unggahan Mahoney menyentuh luka lama: praktik pengawalan sipil berbayar yang masih sering terjadi di jalanan Indonesia.
Warganet menganggap, sirine dan lampu rotator yang seharusnya buat keadaan darurat malah sering dipakai buat kepentingan pribadi. Dari pengusaha, pejabat, sampai orang berduit—semua bisa “dapat jalur cepat” asal tahu caranya.
Akun @ariobrahmana2024 menulis,
“Sebagai masyarakat Indonesia, kami nggak setuju hal kayak gini. Pengawalan cuma buat ambulans, pemadam, atau orang sakit. Kalau pengin cepat sampai, ya berangkat lebih awal aja!”
Komentar @adhiwbwo bahkan lebih tajam,
“Kamu siapa sih? Jangan pakai polisi buat ngawal kamu ke bandara. Datang lebih awal aja. Kamu bukan siapa-siapa di sini. Tahu nggak, yang kamu lakukan bisa bikin masalah? Malu-maluin!”
Akun lain, @pranataandrii, menulis,
“Semoga postingan ini viral, biar orang Indonesia sadar betapa mudahnya bayar polisi buat urusan pribadi. Dan biar dunia tahu betapa murahnya pengawalan di Indonesia.”
Aturan Resmi Pengawalan
Kalau mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas dan Pengawalan, pengawalan polisi hanya boleh dilakukan untuk kepentingan tertentu yang bersifat resmi dan mendesak. Misalnya, pengawalan pejabat negara, tamu kenegaraan, kendaraan darurat seperti ambulans atau mobil pemadam kebakaran, serta kegiatan penting yang telah mendapat izin.
Artinya, kalau pengawalan dilakukan untuk urusan pribadi—apalagi dengan imbalan uang—itu nggak boleh. Selain bisa mencederai kepercayaan publik, praktik semacam itu bisa masuk ranah pelanggaran disiplin bahkan tindak pidana suap.
Namun, sampai sekarang belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian soal apakah pengawalan yang diterima Mahoney itu resmi atau tidak.
Kasus ini jadi semacam cermin kecil dari masalah yang lebih besar: kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
![]() |
| Tangkapan layar postingan Sean Mahoney |
Karena itu, unggahan Mahoney bukan cuma soal seorang bule yang pamer. Tapi juga soal rasa frustrasi masyarakat terhadap sistem yang sering terasa timpang.
Bisa jadi Mahoney nggak bermaksud menyinggung siapa pun. Tapi di era media sosial, satu postingan bisa berubah jadi badai. Apalagi kalau menyentuh isu sensitif seperti keadilan dan ketimpangan sosial.
Publik Indonesia dikenal cepat bereaksi terhadap hal-hal yang menyangkut moral publik, terutama kalau menyangkut polisi atau pejabat. Jadi, ketika seseorang dari luar negeri malah pamer hal yang dianggap “privilege”, wajar kalau reaksi keras langsung meledak.
Pelajarannya sederhana: di zaman digital, semua orang bisa jadi sorotan. Dan nggak semua hal yang kita anggap keren di mata sendiri, akan terlihat sama di mata orang lain.



