SUARAJATIM – David Kurniawan, pemilik CV Paris Indo Lisensi asal Samarinda, menjalani pemeriksaan intensif di Satuan Reserse Mobile (Resmob) Polrestabes Surabaya pada Minggu, 7 Desember 2025, terkait dugaan penipuan atau penggelapan pembelian ban senilai Rp 515 juta yang dilaporkan oleh Robby Cahyadi (Sales) dari PT. Sumber Urip Sejati.
David Kurniawan dijemput oleh penyidik di Samarinda pada Sabtu, 6 Desember 2025, dan langsung dibawa ke Mapolrestabes Surabaya. Namun, setelah menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan status sebagai saksi, David tidak diizinkan pulang.
Kuasa hukum David Kurniawan, Vena Naftalia, menyatakan kejanggalan atas keputusan penyidik yang melarang kliennya untuk kembali ke Samarinda.
"Klien saya dijemput di Samarinda oleh polisi, dibawa ke Polrestabes Surabaya. Namun anehnya setelah di BAP, klien saya hingga saat ini tidak diperbolehkan pulang," terang Vena Naftalia di Mapolrestabes Surabaya, Minggu (7/11) sekitar pukul 23.30 WIB. "Kata penyidik, menunggu perintah pimpinan, dan akan dilakukan gelar perkara."
Vena mempertanyakan dasar kebijakan tersebut, mengingat status David Kurniawan saat ini masih sebagai saksi.
"Klien saya saat di BAP masih berstatus sebagai saksi, tapi kenapa tidak boleh pulang, dan harus menunggu gelar perkara? Hal ini kami anggap janggal," tegas Vena, menyoroti prosedur penahanan informal yang dinilai melanggar hak kliennya.
Kasus dugaan penipuan ini menjerat David Kurniawan sesuai Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) tertanggal 17 November 2025. Pihak kuasa hukum menegaskan bahwa terlapor sama sekali tidak mengetahui adanya transaksi yang menjadi objek laporan. Transaksi tersebut diduga terjadi antara karyawan (sales) PT. Sumber Urip Sejati (Robby, pelapor) dengan karyawan (sales) David bernama Feri yang kini telah meninggal dunia.
David mengaku baru mengetahui masalah ini setelah Feri meninggal. Pelapor lantas menyampaikan kepada David bahwa Fery memiliki pesanan ban yang belum dibayar.
David telah melakukan pengecekan di gudang, namun barang pesanan tersebut tidak ditemukan.
Ia menyebutkan pesanan seharusnya dikonfirmasi langsung kepadanya, namun konfirmasi tidak dilakukan.
Pengiriman ban dilakukan dalam tiga termin. Menurut Vena Naftalia, dua termin terbesar (50 dan 90 set) disebut diambil oleh anak dari Fery langsung di pabrik Samarinda.
Vena Naftalia berharap penyidik dapat memperhatikan semua bukti yang ada, termasuk bukti chat dan fakta bahwa terlapor tidak mengetahui adanya transaksi, saat proses gelar perkara dilakukan.
"Suami saya tulangpunggung keluarga, kami tidak rela suami menanggung apa yang tidak dia lakukan," ujar istri terlapor, berharap keadilan bisa didapat suaminya.
Pihak kuasa hukum berharap adanya transparansi dan proses hukum yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Ia juga mempertanyakan alasan gelar perkara dilakukan pada hari Minggu, praktik yang biasanya hanya dilakukan pada kasus tertentu.
Terpisah, Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Edy Herwiyanto hanya memberikan keterangan singkat. “Saat ini masih berlangsung proses pemeriksaan penyidik,” ujarnya.
![]() |
| (Kanan) Advokat Vena Naftalia dan (kiri) Partner Advokat Putri, Kuasa Hukum dari David Kurniawan |
Kuasa hukum David Kurniawan, Vena Naftalia, menyatakan kejanggalan atas keputusan penyidik yang melarang kliennya untuk kembali ke Samarinda.
"Klien saya dijemput di Samarinda oleh polisi, dibawa ke Polrestabes Surabaya. Namun anehnya setelah di BAP, klien saya hingga saat ini tidak diperbolehkan pulang," terang Vena Naftalia di Mapolrestabes Surabaya, Minggu (7/11) sekitar pukul 23.30 WIB. "Kata penyidik, menunggu perintah pimpinan, dan akan dilakukan gelar perkara."
Vena mempertanyakan dasar kebijakan tersebut, mengingat status David Kurniawan saat ini masih sebagai saksi.
"Klien saya saat di BAP masih berstatus sebagai saksi, tapi kenapa tidak boleh pulang, dan harus menunggu gelar perkara? Hal ini kami anggap janggal," tegas Vena, menyoroti prosedur penahanan informal yang dinilai melanggar hak kliennya.
Kasus dugaan penipuan ini menjerat David Kurniawan sesuai Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) tertanggal 17 November 2025. Pihak kuasa hukum menegaskan bahwa terlapor sama sekali tidak mengetahui adanya transaksi yang menjadi objek laporan. Transaksi tersebut diduga terjadi antara karyawan (sales) PT. Sumber Urip Sejati (Robby, pelapor) dengan karyawan (sales) David bernama Feri yang kini telah meninggal dunia.
David mengaku baru mengetahui masalah ini setelah Feri meninggal. Pelapor lantas menyampaikan kepada David bahwa Fery memiliki pesanan ban yang belum dibayar.
David telah melakukan pengecekan di gudang, namun barang pesanan tersebut tidak ditemukan.
Ia menyebutkan pesanan seharusnya dikonfirmasi langsung kepadanya, namun konfirmasi tidak dilakukan.
Pengiriman ban dilakukan dalam tiga termin. Menurut Vena Naftalia, dua termin terbesar (50 dan 90 set) disebut diambil oleh anak dari Fery langsung di pabrik Samarinda.
Vena Naftalia berharap penyidik dapat memperhatikan semua bukti yang ada, termasuk bukti chat dan fakta bahwa terlapor tidak mengetahui adanya transaksi, saat proses gelar perkara dilakukan.
"Suami saya tulangpunggung keluarga, kami tidak rela suami menanggung apa yang tidak dia lakukan," ujar istri terlapor, berharap keadilan bisa didapat suaminya.
Pihak kuasa hukum berharap adanya transparansi dan proses hukum yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Ia juga mempertanyakan alasan gelar perkara dilakukan pada hari Minggu, praktik yang biasanya hanya dilakukan pada kasus tertentu.
Terpisah, Kasatreskrim Polrestabes Surabaya AKBP Edy Herwiyanto hanya memberikan keterangan singkat. “Saat ini masih berlangsung proses pemeriksaan penyidik,” ujarnya.

