Apa akar persoalan kelangkaan elpiji melon yang terjadi hampir tiap tahun?

kelangkaan elpiji melon

Suarajatim.com - Kelangkaan elpiji melon menjadi persoalan nasional yang kerap berulang hampir setiap tahun sejak kebijakan konversi minyak tanah ke LPG diberlakukan pada tahun 2007 silam.

Sepanjang tahun 2016 saja, kelangkaan elpiji melon hampir merata terjadi di daerah lain. Misalnya, pada September lalu, beberapa daerah di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mengalami hal serupa. Sementara pada Agustus, giliran warga Ciamis, Jawa Barat, dan Sragen, Jawa Tengah yang mengalami kesulitan mendapatkan elpiji melon ini.

Kalau ditarik lebih jauh ke tahun-tahun sebelumnya, hampir semua wilayah pernah mengalaminya. Ironisnya, hal ini selalu terjadi dan terkesan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun Pertamina belum menemukan cara efektif untuk menanggulanginya.

Membahayakan Pengguna, Polda Jatim Bongkar Peredaran Regulator Tak Ber-SNI

Untuk mengatasinya, Pertamina selalu melakukan operasi pasar. Namun, belum menjawab pernyataan: mengapa kelangkaan ini selalu terjadi? Di sisi lain, pemerintah menjawabnya dengan cara menambah volume elpiji melon setiap tahunnya.

Misalnya, volume elpiji melon hanya sekitar 21.476 metrik ton pada tahun 2007. Jumlah ini meningkat terus setiap tahunnya hingga menjadi 5.567.308 metrik ton pada tahun 2015. Artinya, anggaran subsidi untuk elpiji melon ini tiap tahun dalam APBN selalu juga selalu meningkat.

Pertanyaannya, apa yang terjadi di balik kelangkaan elpiji melon ini?

Hasil kajian Majalah EnergiView pada April 2015 memberikan gambaran bahwa problem tersebut disebabkan salah satunya oleh disparitas harga. Kalau kita amati, setiap Pertamina menaikkan harga elpiji 12 Kg akan berimbas pada kelangkaan elpiji melon di beberapa daerah, seperti yang terjadi pada tahun 2015 lalu.

Saat itu, per 1 Maret 2015, Pertamina memutuskan harga elpiji non-subsidi 12 Kg naik sebesar Rp5.000 per tabung, dari harga sebelumnya Rp129.000 menjadi Rp134.000 per tabung. Kebijakan kenaikan harga tersebut diambil karena sebelumnya elpiji 12 Kg dijual di bawah harga keekonomian untuk menghindari disparitas harga terlalu besar dengan elpiji melon yang disubsidi pemerintah melalui APBN.

Akibat kenaikan harga elpiji 12 Kg ini, di beberapa daerah sempat mengalami kelangkaan, bahkan harganya melambung jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah daerah. Misalnya, pada saat itu [April 2015] di Jabodetabek harga jual elpiji melon sekitar Rp20.000 – Rp25.000 per tabung, padahal HET di region tiga yang meliputi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat rata-rata antara Rp15.000 – Rp16.000 per tabung.

Saat itu, Pertamina sendiri memastikan tidak menaikkan harga dan tidak mengurangi elpiji melon. Artinya, kelangkaan elpiji melon yang disubsidi pemerintah tersebut disebabkan terjadinya panic buying setelah Pertamina menaikkan harga elpiji 12 Kg.

Kementerian ESDM sebenarnya menyadari betul bahwa disparitas harga antara LPG non-subsisi dengan elpiji melon yang disubsidi rentan disalahgunakan. Tidak heran, jika harga elpiji non-subsidi dinaikkan, maka para penggunanya bermigrasi ke elpiji melon.

Saat ini, Kementerian ESDM memang tengah menguji beberapa sistem untuk penerapan distribusi agar tepat sasaran. Sejak Agustus hingga November 2016 lalu, di Kota Tarakan, Kalimantan Utara warga sasaran mendapatkan kartu non tunai untuk pengambilan gas tabung melon.

Untuk rumah tangga, tiap bulan mendapat 3 tabung, sementara usaha mikro 9 tabung. Kartu non tunai dalam uji coba ini, disediakan secara cuma-cuma oleh BNI, setelah memperoleh data masyarakat yang telah diverifikasi.

Pemerintah menargetkan, sistem distribusi tertutup elpiji melon ini berlaku tahun 2017 secara bertahap. Harapannya, pada akhir 2017, pemberlakuannya sudah mencapai 80 hingga 90 persen untuk seluruh wilayah Indonesia.//Cst
LihatTutupKomentar