Di Balik Isu Penundaan Pemilu 2024: Strategi Humas Pemerintah Mengelola Krisis Kepercayaan Publik

Oleh: Leni Wijayanti

Wacana penundaan Pemilu 2024 sempat mengguncang ruang publik Indonesia. Isu ini bukan sekadar polemik politik biasa, melainkan menyentuh inti demokrasi: kepastian konstitusi, legitimasi kekuasaan, dan kepercayaan rakyat. Ketika narasi tersebut berkembang di media massa dan media sosial, pemerintah menghadapi tantangan besar—bukan hanya menjelaskan posisi kebijakan, tetapi juga mengelola persepsi publik agar kegelisahan tidak berubah menjadi krisis kepercayaan.


Dalam situasi ini, peran Public Relations (PR) atau Humas pemerintah, khususnya di Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, menjadi sangat strategis. Humas tidak lagi cukup berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi dituntut menjadi pengelola isu (issue manager) yang mampu membaca dinamika politik, media, dan emosi publik secara bersamaan.

Pemilu di Indonesia memiliki makna simbolik yang kuat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Karena itu, setiap wacana penundaan dengan cepat memantik reaksi luas, mulai dari kekhawatiran masyarakat sipil, sorotan akademisi, hingga spekulasi politik di media sosial. Dalam konteks ini, keterlambatan atau ketidakjelasan komunikasi pemerintah berpotensi memperbesar kecurigaan publik.

Masalahnya, di era digital saat ini isu tidak berkembang secara linear. Narasi bercampur antara fakta, opini, dan disinformasi. Sekali isu menyebar, pemerintah tidak lagi memiliki kemewahan waktu untuk merespons secara bertahap. Di sinilah manajemen isu menjadi krusial.

Humas Sekretariat Kabinet merespons isu penundaan Pemilu 2024 dengan pendekatan structured issue management. Pendekatan ini dilakukan melalui beberapa tahap utama.
Pertama, pemantauan media dan deteksi dini. Humas secara aktif memantau pemberitaan media arus utama dan percakapan di media sosial. Tujuannya untuk membaca arah opini publik serta mengidentifikasi potensi eskalasi isu sejak awal. Monitoring ini menjadi fondasi untuk menentukan langkah komunikasi berikutnya.

Kedua, analisis risiko isu. Isu penundaan pemilu dipetakan sebagai isu berisiko tinggi karena berkaitan langsung dengan legitimasi demokrasi dan stabilitas politik. Analisis ini mencakup sumber narasi, aktor yang terlibat, serta potensi dampaknya terhadap citra pemerintah.

Ketiga, perencanaan strategi komunikasi. Humas memilih pendekatan yang cenderung reaktif namun terstruktur. Pemerintah tidak menciptakan narasi tandingan secara agresif, melainkan menyiapkan klarifikasi berdasarkan fakta hukum dan kewenangan konstitusional. Strategi ini bertujuan meredam spekulasi tanpa memperluas polemik.

Keempat, implementasi komunikasi resmi. Pesan disampaikan melalui kanal resmi pemerintah, seperti situs Sekretariat Kabinet dan pernyataan kepada media. Humas berperan sebagai penghubung antara pengambil kebijakan dan publik, memastikan pesan yang keluar konsisten, terverifikasi, dan tidak saling bertentangan.

Kelima, evaluasi berkelanjutan. Setelah komunikasi dilakukan, respons publik dan media terus dipantau. Evaluasi ini penting untuk menilai apakah pesan berhasil menurunkan tensi isu atau justru memunculkan tafsir baru.

Pendekatan tersebut relatif efektif dalam mencegah isu berkembang menjadi krisis besar. Pemerintah berhasil menegaskan posisi resminya dan menahan laju spekulasi yang berlebihan. Namun, pendekatan ini juga menunjukkan keterbatasan yang patut dicatat secara kritis.

Strategi yang dominan reaktif membuat pemerintah sering berada pada posisi merespons, bukan memimpin narasi publik. Di media sosial, opini publik kerap terbentuk lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Akibatnya, meski pesan pemerintah akurat, dampaknya tidak selalu maksimal dalam membentuk persepsi publik.
Selain itu, komunikasi yang terlalu berhati-hati—meski dapat dipahami dalam isu sensitif—berisiko menciptakan jarak dengan publik.

Dalam demokrasi digital, masyarakat tidak hanya menuntut kepastian hukum, tetapi juga keterbukaan dan empati dalam komunikasi.
Kasus penundaan Pemilu 2024 menegaskan tantangan besar humas pemerintah hari ini.

Pertama, kecepatan informasi menuntut respons yang cepat sekaligus presisi. Kedua, kompleksitas isu politik membutuhkan humas yang tidak hanya komunikatif, tetapi juga memahami konteks kebijakan dan dinamika kekuasaan. Ketiga, media sosial menuntut pendekatan komunikasi yang lebih dialogis, bukan sekadar satu arah.

Humas pemerintah juga dihadapkan pada dilema klasik: menjaga stabilitas politik tanpa terkesan menutup ruang kritik. Di sinilah profesionalisme dan etika komunikasi publik diuji.

Dari kasus ini, setidaknya ada tiga pelajaran penting. Pertama, manajemen isu harus lebih proaktif, dengan membaca potensi isu sebelum berkembang luas. Kedua, peran humas perlu diperkuat sebagai penasihat strategis, bukan sekadar pelaksana teknis komunikasi. Ketiga, pendekatan komunikasi yang lebih manusiawi dan dialogis diperlukan untuk membangun kepercayaan jangka panjang.

Isu penundaan Pemilu 2024 menunjukkan bahwa komunikasi pemerintah bukan sekadar soal citra, tetapi bagian dari tata kelola demokrasi. Ketika kepercayaan publik dipertaruhkan, humas pemerintah berada di garis depan menjaga keseimbangan antara stabilitas politik, transparansi, dan hak publik untuk tahu.

Dalam demokrasi yang semakin terbuka dan riuh, kemampuan mengelola isu secara strategis bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.(*)

Penulis merupakan mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus
1945 (Untag) Surabaya.

LihatTutupKomentar